Jika penderita diabetes mellitus sudah melakukan terapi primer namun kadar gula dalam darahnya masih tetap tinggi, maka perlu dipertimbangkan untuk melakukan terapi sekunder, yang mencakup konsumsi obat anti-diabetika dan cangkok pankreas. Pada tahun 1921, para ahli kedokteran telah menemukan insulin sebagai obat anti-diabetika pertama. Namun, insulin akan efektif apabila diberikan melalui suntikan. Pemberian insulin melalui mulut (oral) atau dubur sudah pernah dilakukan, namun ternyata insulin dihancurkan dan dicerna oleh usus. Dengan demikian, bila diberikan melalui mulut atau dubur, akan menyebabkan efek obat berkurang dan tidak memberikan hasil yang nyata.
Lebih kurang tiga puluh tahun kemudian, tepatnya tahun 1954, perusahaan farmasi Eli-Lily di Amerika Serikat berhasil menemukan senyawa BZ 55 atau Karbertamide, yaitu suatu obat yang tergolong dalam derivat sulfonamida yang ternyata berkhasiat menurunkan kadar gula dalam darah. Penggunaan obat ini cukup mudah dan praktis, karena dapat diberikan melalui mulut. Namun sayang, obat ini terpaksa ditarik dari peredaran karena ternyata memiliki efek samping yang membahayakan. Kemudian dilakukan pula sintesa tolbutamida yang tidak memiliki efek sulfa, dan disusul oleh banyak derivat yang lain.
Sementara itu, sekitar tahun 1959, telah ditemukan pula senyawa lain yang memiliki daya anti-diabetik oral dari kelompok biguanida. Mekanisme kerja senyawa ini sangat berbeda dengan senyawa yang telah ditemukan sebelumnya. Obat-obat anti-diabetik oral yang sekarang banyak digunakan adalah berasal dari kedua golongan berikut.
1. Derivat Sulfonilurea
2. Derivat Biguanida
1. Obat dari golongan Sulfonilurea bekerja merangsang beta sel pankreas untuk melepaskan persediaan insulinnya sebagai reaksi bila kadar gula naik. Obat dari golongan Sulfonilurea, dibedakan menjadi 3 kelompok berikut:
a. Obat dengan masa kerja yang singkat (6 — 12 jam), misalnya Tolbutamida (Rastinon, Artosin) dan Glucodion (Glurenorm).
b. Obat dengan masa kerja menengah (± 15 jam), misalnya Glibenclamide (Daonil, Englucon), Gliclomida (Diamicron), dan Glipizida (Minidiab).
C. Obat dengan masa kerja panjang (± 70 jam), misalnya Chlorpropamide (Diabenese, Diabex).
Efek samping yang kadang ditimbulkan oleh obat dari golongan Sulfonilurea adalah gangguan lambung dan usus (mual, muntah, diare), pusing/sakit kepala, nafsu makan meningkat, dan berat badan naik. Hipoglikemia ringan sampai berat dapat terjadi, khususnya pada derivat kuat, misalnya Glibenclamide dan chlorpropamide.
2. Obat golongan biguanida tidak merangsang beta sel pankreas, tetapi langsung bekerja menghambat penyerapan gula di usus. Obat golongan ini dibedakan menjadi beberapa kelompok sebagai berikut:
a. Phengormin, yang sekarang tidak digunakan lagi.
b. Metformin (Gluciphage, Benofomin, dan lain sebagainya).
c. Acarbose (Glucobay 50 dan 100), merupakan obat terbaru yang mampu secara efektif menghambat absorpsi glukosa dari usus.
Pada umumnya, terapi diawali dengan penggunaan Sulfonilurea masa kerja pendek, dengan suatu risiko hipoglikemia yang kecil, misalnya Talbutamida dan Glipizida. Namun, jika ternyata kadar gula dalam darah tidak cukup menurun, maka dianjurkan untuk digunakan obat dari derivat yang lain, yang memiliki kemampuan lebih kuat dengan masa kerja yang lebih lama. Di samping itu, dapat digunakan pula obat dari golongan Biguanida sebagai pilihan kedua. Obat dari kedua golongan tersebut dapat digunakan sendiri-sendiri ataupun dikombinasi. Tetapi setiap macam obat dari golongan yang sama tidak boleh digunakan secara bersamaan.
Di samping obat anti-diabetik oral yang banyak digunakan tersebut, dapat digunakan pula satu obat lain yang memiliki khasiat yang lebih tinggi, yaitu hormon insulin. Hormon insulin yang pernah dibuat selama ini berasal dari sapi, babi, anjing, kuda, domba, dan burung. Namun ternyata dari hasil penelitian, dapat diketahui bahwa hormon-hormon insulin tersebut memiliki struktur kimia yang berbeda dengan struktur kimia hormon insulin manusia (hanya hormon insulin sapi, babi, dan burung yang agak mirip dengan insulin manusia). Sehingga dengan demikian, hanya hormon insulin sapi dan babi saja yang banyak digunakan untuk terapi.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar